
Sabtu, 04 Juli 2015
Posisi Tidur Yang Benar Menurut Hindu

Sabtu, 20 Juni 2015
Asal Usul Nama Orang Bali : Wayan, Made, Nyoman, Ketut
Jika Anda sedang berada di Bali, Anda tentu sering mendengar nama-nama khas Bali mulai Wayan, Made, Nyoman, Ketut, Ida Bagus, dan sebagainya. Semua nama itu ternyata ada artinya.
Kita mulai dulu dengan sebutan I dan Ni pada nama-nama orang Bali. Huruf I di depan nama Wayan misalnya, adalah kata sandang yang bermakna laki-laki. Sementara kata sandang penanda kelamin perempuan adalah Ni. I dan Ni juga bermakna seorang lelaki dan wanita dari keluarga masyarakat kebanyakan, tidak berkasta atau biasa disebut orang jaba. Jika ia terlahir di keluarga penempa besi, maka orang Bali ini bernama Pande. Bila di depan Wayan gelarnya Ida Bagus, ia tentu terlahir di keluarga Brahmana. Ida Bagus berarti yang Tampan atau Terhormat. Jika saja ia digelari Anak Agung, maka ia lahir di keluarga bangsawan.
Nama Wayan berasal dari kata “wayahan" yang artinya yang paling matang. Titel anak kedua adalah Made yang berakar dari kata "Madia" yang artinya tengah. Anak ketiga dipanggil Nyoman yang secara etimologis berasal dari kata "uman" yang bermakna “sisa” atau “akhir”. Jadi menurut pandangan hidup orang Bali, sebaiknya sebuah keluarga memiliki tiga anak saja. Setelah beranak tiga, kita disarankan untuk lebih “bijaksana”. Namun zaman dahulu, obat herbal tradisional kurang efektif untuk mencegah kehamilan, coitus interruptus tidak layak diandalkan, dan aborsi selalu dipandang jahat, sehingga sepasang suami istri mungkin saja memiliki lebih dari tiga anak.
Anak keempat gelarnya Ketut. Ia berasal dari kata kuno "Kitut" yang berarti sebuah pisang kecil di ujung terluar dari sesisir pisang. Ia adalah anak "bonus" yang tersayang. Karena program KB yang dianjurkan pemerintah, semakin sedikit orang Bali yang bernama Ketut. Itu sebabnya ada kekhawatiran dari sementara orang Bali akan punahnya sebutan kesayangan ini.
Menurut situs balirustique.com, orang Bali memiliki sebuah tabu atau pantangan bahwa petani tidak boleh menyebut kata tikus, yang di Bali disebut bikul, jika sedang ada di sawah. Menyebut tikus di sawah, dipercaya bagai mantra yang bisa memanggil tikus. Untuk itu jika sedang di sawah, orang memanggilnya dengan julukan spesial ” Jero Ketut”. Ia bermakna tuan kecil. Ini berangkat dari pandangan bahwa tikus bagimanapun juga adalah bagian dari keseimbangan alam.
Bila keluarga berencana gagal, dan sebuah keluarga memiliki lebih dari empat anak, maka mulai dari anak kelima, orang Bali mengulang siklus titel di atas. Anak kelima bergelar Wayan, keenam Made, dan seterusnya.
Namun jika bicara lebih rinci, ketiga titel hirarki kelahiran orang Bali memiliki sinonim; untuk Wayan: Putu, Kompiang, atau Gede; untuk Made: Kadek atau Nengah; untuk Nyoman: Komang. Sementara nama Ketut yang istimewa tak bersinonim.
Seperti orang Jawa, orang Bali tidak memiliki nama marga atau nama keluarga (family name). Jadi kalau dilihat dari kaca mata orang barat, orang Bali hanya memiliki first name tanpa family name. Konon ini memudahkan orang untuk menyamar di waktu perang. Bahkan bila terpaksa, setelah kekalahan militer, seorang bangsawan bisa mengaku sebagai orang kebanyakan. Dan seluruh keturunannya pun terpaksa memakai titel I atau Ni.
Meski tidak mengenal nama marga atau fam, ada juga orang Bali yang yang turun temurun dengan jelas menambahkan nama marga atau sub marga sepeti Dusak, Pendit, dan lain lain di belakang nama depan . Misalnya saja (hanya rekayasa), Wayan Sujana Pendit. Di jaman modern ketika nama keluarga jadi penting untuk urusan paspor atau kalau tinggal di luar negeri, beberapa keluarga Bali yang progresif membuat nama marga baru yang biasanya diambil dari nama seorang ayah yang berpendidikan tinggi dan “sukses”.
Banyak hal yang berubah di Bali sejak kemerdekaan Indonesia. Bila di zaman dulu orang menamai anaknya sekehendak hati, sering tanpa arti, atau hanya onomatope, di zaman sekarang ini, orang-orang mulai ramai memakai nama yang berasal dari bahasa Sanskerta. Ada juga nama orang Bali kini yang sudah 'bernuansa' barat seperti misal I Ketut Bobby atau Ni Luh Ayu Cindy.
Sumber :
http://www.beritabali.com/index.php/page/berita/dps/detail/2013/04/26/Asal-Usul-dan-Arti-Nama-Orang-Bali/201107022503
Sabtu, 13 Juni 2015
Mantram Tri Sandya
Mantram Tri Sandya
tat savitur varenyam
bhargo devasya dhimahi
dhiyo yo nah pracodayat
yad bhutam yac ca bhavyam
niskalanko nirañjano nirvikalpo
nirakhyatah suddo deva eko
narayano na dvitìyo'sti kascit
ìsvarah paramesvarah
brahma visnusca rudrasca
purusah parikìrtitah
papatma papasambhavah
trahi mam pundarikaksa
sabahyabhyantarah sucih
sarvaprani hitankara
mam moca sarva papebyah
palayasva sada siva
ksantavyo vaciko mama
ksantavyo manaso dosah
tat pramadat ksamasva mam
Yang maha suci dan sumber segala kehidupan,
sumber segala cahaya,
semoga limpahkan pada budi nurani kami penerangan sinar cahayaMu yang maha suci.
Engkau adaIah gaib, tiada berwujud, di atas segala kebingungan, tak termusnahkan.
Engkau adalah maha cemerlang, maha suci, maha esa dan tiada duanya.
Engkau adalah asal mula dari segala yang ada
jiwa hamba papa dan kelahiran hambapun papa,
perbuatan hamba papa,
Ya Hyang Widhi, selamatkanlah hamba dari segala kenistaan ini, dapatlah disucikan lahir dan batin hamba.
Lepaskanlah , kiranya hamba dari segala kepapaan ini dan tuntunlah hamba, selamatkan dan lindungilah hamba oh Hyang Widhi Wasa.
ampunilah pula dosa dari pikiran hamba.
Ampunilah hamba atas segaIa kelalaian hamba itu.
Selasa, 09 Juni 2015
Java mantra
JAPA MANTRA
OM
Om Bhur berarti ….Wahai Yang Maha Esa, Dikaulah Sang Bhumi.Om Bwah berarti ….Wahai Yang Maha Esa, Dikaulah Alam-Semesta.Om Svah berarti ….Wahai Yang Maha Esa, Dikaulah Kehampaan yang menyelimuti bumi dan alam semesta ini.
Gayatri sudha pratyag-Brahma-aikya-bodhika
(kata ini pada saat berjapa harus dilantunkan sebagai Varenyam)
Kamis, 07 Mei 2015
Makna banten di bali
Di pulau Bali yang mayoritas warganya adalah umat Hindu, yang mana adat,budaya dan ajaran agama sangat erat,saling berkaitan dan saling melengkapi. Sehingga bisa dikatakan adat,budaya dan agama menjadi satu kesatuan.
Khusunya di Bali sendiri dikenal ada yang namanya Banten. Banten adalah persembahan dan sarana bagi umat Hindu mendekatkan diri dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa atau Tuhan Yang Maha Kuasa. Banten juga merupakan wujud rasa terima kasih, cinta dan bakti pada beliau karena telah dilimpahi wara nugraha-Nya. Secara mendasar dalam agama Hindu, banten juga dapat dikatakan sebagai bahasa agama.
Pengertian Banten Pejati
Pejati berasal bahasa Bali, dari kata “jati”mendapat awalan “pa-“. Jati berarti sungguh-sungguh, benar-benar. Awalan pa-membentuk kata sifat jati menjadi kata benda pajati, yang menegaskan makna melaksanakan sebuah pekerjaan yang sungguh-sungguh.
Banten Pejati sering juga disebut “Banten Peras Daksina”. Banten Pejati adalah sekelompok banten yang dipakai sarana untuk menyatakan rasa kesungguhan hati kehadapan Hyang Widhi dan manifestasiNya, akan melaksanakan suatu upacara dan mohon dipersaksikan, dengan tujuan agar mendapatkan keselamatan. Banten pejati merupakan banten pokok yang senantiasa dipergunakan dalam Panca Yadnya.
Unsur dan Makna Banten Pejati
Pada Banten Pejati terdapat empat unsur utama yang disebut Catur Loka Phala, yaitu terdiri dari; Daksina, Banten Peras, Penyeneng/Tehenan/Pabuat, Tipat/Ketupat Kelanan. Selain itu, di alam banten Pejati juga terdapat; Soda/Ajuman, Pasucian, dan Segehan, beserta sarana-sarana pelengkap lainnya. Makna dari setiap unsur banten pejati, yaitu sebagai berikut:
1. Daksina
Daksina disebut Juga “YadnyaPatni” yang artinya istri atau sakti daipada yadnya. Daksina juga dipergunakan sebagai mana persembahan atau tanda terima kasih, selalu menyertai banten-banten yang agak besar dan sebagainya perwujudan atau pertapakan. Dalam lontar Yadnya Prakertidisebutkan bahwa Daksina melambangkan Hyang Guru / Hyang Tunggal kedua nama tersebut adalah nama lain dari Dewa Siwa.
2. Banten Peras
Kata “Peras” dapat diartikan “sah” atau resmi, seperti kata: “meras anak” mengesahkan anak, “Banten pemerasan”, yang dimaksud adalah sesajen untuk mengesahkan anak/cucu; dan bila suatu kumpulan sesajen tidak dilengkapi dengan peras, akan dikatakan penyelenggaraan upacaranya “tan perasida”, yang dapat diartikan “tidak sah”, oleh karena itu banten peras selalu menyertai sesajen-sesajen yang lain terutama yang mempunyai tujuan-tujuan tertentu. Pada prinsipnya memiliki fungsi sebagai permohonan agar semua kegiatan tersebut sukses (prasidha)
Banten Peras ini boleh dikatakan tidak pernah dipergunakan tersendiri, tetapi menyertai banten-banten yang lain seperti: daksina, suci, tulang-sesayut dan lain-lainnya. Dalam beberapa hal, pada alasnya dilengkapi dengan sedikit beras dan benang putih. Untuk menunjukkan upacara telah selesai, maka seseorang (umumnya pimpinan upacara) akan menarik lekukan pada “kulit-peras”, dan menaburkan beras yang ada dibawahnya. Pada Lontar Yajna-prakerti disebut bahwa peras melambangkan Hyang Tri Guna-Sakti.
3. Penyeneng/Tehenan/Pabuat
Jenis jejaitan yang di dalamnya beruang tiga masing-masing berisi beras, benang, uang, nasi aon (nasi dicampur abu gosok) dan porosan, adalah jejahitan yang berfungsi sebagai alat untuk menuntun, menurunkan Prabhawa Hyang Widhi, agar Beliau berkenan hadir dalam upacara yang diselenggarakan. Panyeneng dibuat dengan tujuan untuk membangun hidup yang seimbang sejak dari baru lahir hingga meninggal.
Yang membentuk Penyeneng:
- Ruang 1, berisi Nasi segau yaitu nasi dicampur dengan abu/aon adalah lambang dari dewa Brahma sebagai pencipta alam semesta ini dan merupakan sarana untuk menghilangkan semua kotoran (dasa mala).
- Ruang 2 berisi porosan, plawa dan bunga lambang dari dewa Visnu yang memelihara alam semesta ini,
- Ruang 3 berisi tepung tawar, bunga, daun kayu sakti (dapdap), yang ditumbuk dengan kunir, beras dan air cendana melambangkan dewa Siva dalam prabhawaNya sebaga Isvara dan Mahadeva yang senantiasa mengarahkan manusia dari yang tidak baik menuju benar, meniadakan (pralina) Adharma dan kembali ke jalan Dharma.
4. Tipat/Ketupat Kelanan
Ketupat Kelanan adalah lambang dari Sad Ripu yang telah dapat dikendalikan atau teruntai oleh rohani sehingga kebajikan senantiasa meliputi kehidupan manusia. Dengan terkendalinya Sad Ripu maka keseimbangan hidup akan meyelimuti manusia.
5. Soda/Ajuman
Ajuman disebut juga soda (sodaan) dipergunakan tersendiri sebagai persembahan ataupun melengkapi daksina, suci dan lain-lain. Bila ditujukan kehadapan para leluhur, salah satu peneknya diisi kunir ataupun dibuat dari nasi kuning, disebut “perangkat atau perayun” yaitu jajan serta buah-buahannya di alasi tersendiri, demikian pula lauk pauknya masing-masing dialasi ceper / ituk-ituk, diatur mengelilingi sebuah penek yang agak besar. Di atasnya diisi sebuah canang pesucian, canang burat wangi atau yang lain.
6. Pasucian
Secara umum pesucian dapat dikatakan sebagai alat-alat yang dipakai untuk menyucikan Ida Bhatara dalam suatu upacara keagamaan. Secara instrinsik mengandung makana filosofis bahwa sebagai manusia harus senantiasa menjaga kebersihan phisik dan kesucian rohani (cipta , rasa dan karsa), karena Hyang Widhi itu maha suci maka hanya dengan kesucian manusia dapat mendekati dan menerima karunia Beliau.
7. Segehan
Segehan artinya “Suguh” (menyuguhkan), dalam hal ini adalah kepada Bhuta Kala, yang tak lain adalah akumulasi dari limbah/kotoran yang dihasilkan oleh pikiran, perkataan dan perbuatan manusia dalam kurun waktu tertentu. Dengan segehan inilah diharapkan dapat menetralisir dan menghilangkan pengaruh negatik dari libah tersebut. Segehan adalah lambang harmonisnya hubungan manusia dengan semua ciptaan Tuhan (palemahan).
Penerima Banten Pejati
Banten Pejati dihaturkan kepada Sang Hyang Catur Loka Phala. Secara lebih detail sebagai berikut:
- Peras : kepada Sang Hyang Iswara
- Daksina : kepada Sang Hyang Brahma
- Ketupak Kelanan : kepada Sang Hyang Wisnu
- Soda/Ajuman : kepada Sang Hyang Mahadewa