Sabtu, 04 Juli 2015

Posisi Tidur Yang Benar Menurut Hindu

Bali, memang menjadi sebuah pulau dengan beribu adat istiadat yang sangat kental dan masih terjaga dengan amat baik.  Hari ini saya akan mencoba memberikan alasan dan pedoman Mengapa Umat Hindu Posisi Tidur tidak Boleh Di Teben.


Konsep luan-teben atau hulu-hilir.Konsep ini terkait dengan kosmologi mata angin. Orang Bali umumnya meletakkan tempat tidur searah utara-selatan atau timur-barat. Jadi, ketika tidur, kepala kita ke arah utara atau timur, kaki ke arah selatan atau barat. Mengapa demikian? 

menurut Nitisastra VII, 1-2.

" Jika kepalamu di timur, akan panjang umurmu. Jika di utara, engkau mendapatkan kejayaan. Jika letak kepalamu di barat, akan mati rasa cinta padamu, engkau akan dibenci para sahabatmu; dan jika membujur ke selatan, akan pendek umurmu, dan menyebabkan rasa duka cita".



Tidur itu tidak dilarang, tapi tidur yang sembarangan ada konsekuensinya. Sebagai masyarakat yang dikenal dengan aturan-aturan adat yang kental dan masih terjaga, masyarakat Bali hingga kini masih meyakini bahwa tidur tidak boleh sembarangan. Mulai dari sikap atau posisi tidur,  tempat tidur, hingga bangunan yang boleh dijadikan sebagai tempat tidur pun diatur sedemikian rupa dalam adat Bali. Terdapat tiga macam tempat berisitirahat yang disebutkan dalam sastra Bali, yaitu:
§  Galar: istirahat untuk beberapa saat dengan tidur
§  Galir: istirahat untuk beberapa menit atau pelepas lelah dengan duduk dan bersantai
§  Galur: istirahat untuk perjalanan pulang, yang dalam istilah Bali disebut dengan “mulih ke desa/gumi wayah” alias mati


Seperti dikutip dalam blogsepisunyi.blogspot.com Pada dasarnya, umat hindu sangat mensucikan 9 penjuru arah mata angin. DEWATA NAWA SANGA. Tapi, dalam hal ini, (arah kepala waktu tidur), ada konsep palemahan (tata ruang) yang mengatur dalam hal ini. Dalam tata adat di bali, setiap keluarga hindu bali punya tempat pemujaan (sangah/merajan) yang di bangun di sebelah timur (tepatnya, kaje kangin) dari areal pekarangan yg di tempati. Dan di bali jg ada konsep (me-hulu gunung). Masyarakat hindu bali menggunakan gunung sebagai arah utara. 

Nah, untuk lebih mensucikan tempat pemujaan, maka masyarakat hindu di bali mengatur arah kepala untuk tidur dengan sedemikian rupa. Dalam hal ini, kepala ada otaknya, otak sebagai pusat dari semua yang ada pada diri manusia. Maka, dengan sendirinya kepala kitalah yg paling dekat dengan tempat pemujaan. Ini untuk mengingatkan kita untuk selalu dekat, mengingat, dan melaksanakan ajaran hindu. jadi masalah posisi tidur kiat di bali ini bukan AGEM MULE KETO. Dan ada yg lucu disini, ajaran tidur hindu di bali, telah secara tidak langsung membuat penduduk bali mempersatukan diri lewat posisi tidur. Di bali utara dan bali selatan jika tidur dgn posisi sama2 kepala di utara, maka ketemunya kepala dengan kepala. Utara di bali selatan, adalah selatan di bali utara.

Selain Sikap Tidur yang tidak boleh mengarah ke teben, Sikap badan saat tidur juga ada pedomannya. Beberapa diantaranya adalah sebagai berikut:

Kaki tidak boleh menyilang

Percaya tidak percaya, tertidur dengan kaki menyilang (x) akan membuat manusia mengalami mimpi buruk. Meski belum ada bukti ilmiah yang mendukung mitos ini, banyak masyarakat Bali yang sering mengalaminya. Mereka sering bermimpi buruk ketika tanpa sadar tertidur dengan kaki menyilang. Oleh karena itu, masyarakat Bali berusaha meluruskan kakinya sebelum tidur. Selain bertujuan menghindari mimpi buruk, tidur dengan kaki yang lurus juga dipercaya dapat melancarkan aliran darah.

Tidak boleh berselimut hingga menutupi wajah

Tidur dengan seluruh tubuh tertutup selimut membuat kita terlihat seperti orang yang meninggal dunia. Hal ini adalah tabu bagi masyarakat Bali. Menurut kebudayaan mereka, tidur dengan berselimut menutupi seluruh tubuh dapat mengundang energi jahat dalam tidur kita. Jadi, kita hanya boleh berselimut hingga sampai batas leher atau pundak. Jika udara terlalu dingin, maka disarankan untuk menggunakan topi (atau penutup kepala sejenis) untuk melindungi dari udara dingin tersebut.


Lalu bagaimana jika aturan tentang tidur ini dilanggar?

Secara adat atau hukum sosial tidak ada hukuman bagi orang yang melanggar aturan-aturan tersebut. Namun, secara “Niskala” akan berdampak pada kehidupan pemakai tempat istirahat yang bersangkutan. Mulai dari sakit hingga kematian. Khusus untuk tempat tidur, memiliki aturan tambahan yaitu; apabila tempat tersebut sudah dianggap selesai dibuat dan sudah pernah digunakan selama 3 hari, maka tempat tesebut dianggap sudah hidup seperti halnya bangunan yang telah diupacarai. Bila ada orang yang berani memotong / merubahnya kemudian setelah itu digunakan sebagai tempat tidur lagi, maka yang memotong / merubah serta yang menggunakannya akan mengalami gangguan dalam kehidupannya. Aturan ini sudah baku, karena sudah banyak yang merasakan, sehingga Adat Bali tidak mengaturnya secara tertulis kecuali yang tertera dalam Kidung Nitisastra. Selain bertujuan untuk memperoleh rasa nyaman, aturan-aturan tidur ini juga diyakini bermanfaat untuk kesehatan.

Sabtu, 20 Juni 2015

Asal Usul Nama Orang Bali : Wayan, Made, Nyoman, Ketut



Jika Anda sedang berada di Bali, Anda tentu sering mendengar nama-nama khas Bali mulai Wayan, Made, Nyoman, Ketut, Ida Bagus, dan sebagainya. Semua nama itu ternyata ada artinya.

Kita mulai dulu dengan sebutan I dan Ni pada nama-nama orang Bali. Huruf I di depan nama Wayan misalnya, adalah kata sandang yang bermakna laki-laki. Sementara kata sandang penanda kelamin perempuan adalah Ni. I dan Ni juga bermakna seorang lelaki dan wanita dari keluarga masyarakat kebanyakan, tidak berkasta atau biasa disebut orang jaba. Jika ia terlahir di keluarga penempa besi,  maka orang Bali ini bernama Pande. Bila di depan Wayan gelarnya Ida Bagus, ia tentu terlahir di keluarga Brahmana. Ida Bagus berarti yang Tampan atau Terhormat.  Jika saja ia digelari Anak Agung, maka ia lahir di keluarga bangsawan.

Nama Wayan berasal dari kata “wayahan" yang artinya yang paling matang.  Titel anak kedua adalah Made yang berakar dari kata "Madia" yang artinya tengah. Anak ketiga dipanggil Nyoman yang secara etimologis berasal dari kata "uman" yang bermakna “sisa” atau “akhir”.  Jadi menurut pandangan hidup orang Bali, sebaiknya sebuah keluarga memiliki tiga anak saja.  Setelah beranak tiga, kita disarankan untuk lebih “bijaksana”. Namun zaman dahulu, obat herbal tradisional kurang efektif untuk mencegah kehamilan, coitus interruptus tidak layak diandalkan, dan aborsi selalu dipandang jahat, sehingga sepasang suami istri mungkin saja memiliki lebih dari tiga anak.

Anak keempat gelarnya Ketut. Ia berasal dari kata kuno "Kitut" yang berarti sebuah pisang kecil di ujung terluar dari sesisir pisang. Ia adalah anak "bonus" yang tersayang. Karena program KB yang dianjurkan pemerintah, semakin sedikit orang Bali yang bernama Ketut. Itu sebabnya ada kekhawatiran dari sementara orang Bali akan punahnya sebutan kesayangan ini.

Menurut situs balirustique.com, orang Bali memiliki sebuah tabu atau pantangan bahwa petani tidak boleh menyebut kata tikus, yang di Bali disebut bikul, jika sedang ada  di sawah. Menyebut tikus di sawah, dipercaya bagai mantra yang bisa memanggil tikus. Untuk itu jika sedang di sawah, orang memanggilnya dengan julukan spesial  ” Jero Ketut”.  Ia bermakna tuan kecil. Ini berangkat dari pandangan bahwa tikus bagimanapun juga adalah bagian dari keseimbangan alam.

Bila keluarga berencana gagal, dan sebuah keluarga memiliki lebih dari empat anak, maka mulai dari anak kelima, orang Bali mengulang siklus titel di atas. Anak kelima bergelar Wayan, keenam Made, dan seterusnya.

Namun jika bicara lebih rinci, ketiga titel hirarki kelahiran orang Bali memiliki sinonim; untuk Wayan: Putu, Kompiang, atau Gede; untuk Made: Kadek atau Nengah; untuk Nyoman: Komang. Sementara nama Ketut yang istimewa tak bersinonim.

Seperti orang Jawa, orang Bali tidak memiliki nama marga atau nama keluarga (family name).  Jadi kalau dilihat dari kaca mata orang barat, orang Bali hanya memiliki first name tanpa family name. Konon ini memudahkan orang untuk menyamar di waktu perang.  Bahkan bila terpaksa, setelah kekalahan militer, seorang bangsawan bisa mengaku sebagai orang kebanyakan. Dan seluruh keturunannya pun terpaksa memakai titel I atau Ni.

Meski tidak mengenal nama marga atau fam, ada juga orang Bali yang yang turun temurun dengan jelas menambahkan nama marga atau sub marga sepeti  Dusak, Pendit, dan lain lain di belakang nama depan . Misalnya saja (hanya rekayasa), Wayan Sujana Pendit.  Di jaman modern ketika nama keluarga jadi penting untuk urusan paspor atau kalau tinggal di luar negeri, beberapa keluarga Bali yang progresif membuat nama marga baru yang biasanya diambil dari nama seorang ayah yang berpendidikan tinggi dan “sukses”.

Banyak hal yang berubah di Bali sejak  kemerdekaan Indonesia. Bila di zaman dulu orang menamai anaknya sekehendak hati, sering tanpa arti, atau hanya onomatope, di zaman sekarang ini, orang-orang mulai ramai memakai nama yang berasal dari bahasa Sanskerta. Ada juga nama orang Bali kini yang sudah 'bernuansa' barat seperti misal I Ketut Bobby atau Ni Luh Ayu Cindy.

Sumber :
http://www.beritabali.com/index.php/page/berita/dps/detail/2013/04/26/Asal-Usul-dan-Arti-Nama-Orang-Bali/201107022503

Sabtu, 13 Juni 2015

Mantram Tri Sandya

Mantram Tri Sandya


Trisandya atau Puja Trisandya adalah mantram dalam agama Hindu khususnya bagi umat hindu di Bali dan umat Hindu di Indonesia pada umumnya. Mantram Trisandya dilaksanakan untuk persembahyangan 3 ( tiga) kali sehari yaitu pagi siang dan sore hari. Bait pertama dari trisandya adalah berasal dari Gayatri Mantram yang tertuang dari Veda.
PUJA TRISANDYA
Bait I:
Om Om Om bhur bhvah svah
tat savitur varenyam
bhargo devasya dhimahi
dhiyo yo nah pracodayat
Bait II:
Om narayana evedam sarvam 
yad bhutam yac ca bhavyam 
niskalanko nirañjano nirvikalpo 
nirakhyatah suddo deva eko 
narayano na dvitìyo'sti kascit
Bait IIII:
Om tvam sivah tvam mahadevah 
ìsvarah paramesvarah 
brahma visnusca rudrasca 
purusah parikìrtitah
Bait IV:
Om papo'ham papakarmaham 
papatma papasambhavah 
trahi mam pundarikaksa 
sabahyabhyantarah sucih
Bait V:
Om ksamasva mam mahadeva 
sarvaprani hitankara 
mam moca sarva papebyah 
palayasva sada siva
Bait VI:
Om ksantavyah kayiko dosah 
ksantavyo vaciko mama 
ksantavyo manaso dosah 
tat pramadat ksamasva mam
Om santih, santih, santih, om

ARTI DALAM BAHASA INDONESIA
Bait I:
Ya Hyang Widhi yang menguasai ketiga dunia ini,
Yang maha suci dan sumber segala kehidupan, 
sumber segala cahaya, 
semoga limpahkan pada budi nurani kami penerangan sinar cahayaMu yang maha suci.
Bait II:
Ya Hyang Widhi, darimulah segala yang sudah ada dan yang akan ada di alam ini berasal dan kembali nantinya. 
Engkau adaIah gaib, tiada berwujud, di atas segala kebingungan, tak termusnahkan. 
Engkau adalah maha cemerlang, maha suci, maha esa dan tiada duanya.
Bait III:
Engkau disebut Siwa, Mahadewa, Iswara, Parameswara, Brahma dan Wisnu dan juga Rudra. 
Engkau adalah asal mula dari segala yang ada
Bait IV:
Oh Hyang Widhi Wasa, hamba ini papa, 
jiwa hamba papa dan kelahiran hambapun papa, 
perbuatan hamba papa, 
Ya Hyang Widhi, selamatkanlah hamba dari segala kenistaan ini, dapatlah disucikan lahir dan batin hamba.
Bait V:
Ampunilah hamba. oh Hyang Widhi, penyelamat segala makhluk.
Lepaskanlah , kiranya hamba dari segala kepapaan ini dan tuntunlah hamba, selamatkan dan lindungilah hamba oh Hyang Widhi Wasa.
Bait VI:
Oh Hyang Widhi Wasa, ampunilah segala dosa hamba, ampunilah dosa dari ucapan hamba dan 
ampunilah pula dosa dari pikiran hamba.
Ampunilah hamba atas segaIa kelalaian hamba itu.
Semoga damai dihati, damai didunia, damai selalu.

ARTI DALAM BAHASA INGGRIS
Bait I:
OM is the Earth, Sky and the Heavens. Let us meditate on the light of the Sun and may our thoughts be inspired by that divine light.
Bait II:
OM, Narayana is all that has been and what will be, free from taint, free from dirt, ever existing and without form, holy god Narayana, He is only one and there is no other.
Bait III:
OM, you called Shiva, Mahadeva, Iswara, Parameswara, Brahma, Vishnu, Rudra, Purusa; the supreme soul, source of everything..
Bait IV:
OM, I am full of sorrow, my action is full of sins, my soul so destitute, and my birth is also so poor. Save me from all this sorrow, purify my body and mind.
Bait V:
OM, forgive me MahaDeva, He who gives salvation to all sentient beings, save me from all this sorrow, guide me, redeem and protect me, O Sada Shiva
Bait VI:
OM, Forgive my sinful deeds, forgive my wrong speech, forgive my sinful mind, forgive me for all those misdeeds.
OM, May there be Peace, Peace, Peace Forever, OM.

Selasa, 09 Juni 2015

Java mantra

JAPA  MANTRA 

Sri Krishna di dalam Bhagavat-Gita bersabda kepada Sri Arjuna, bahwasanya diantara berbagai mantra, maka Gayatri Mantra adalah yang tertinggi sifatnya dan Beliau sendiri adalah pengejawantahan dari esensi mantra ini.  Ada dua versi mantra Gayatri yang paling populer diantara berbagai jenis mantra-mantra Gayatri.  Yang pertama adalah seperti berikut ini : 

OM

BHUR, OM BWAH, OM SWAH,
Om Tat Savetur Varenyam
 Bhargo Devasya Dimahi,
Dhiyo Yonah Prachodayat 
Apakah mantra Gayatri ini sebenarnya dan apakah manfaatnya, sehingga sedemikian agungnya mantra ini?  Konon Gayatri sendiri yang adalah manifestasi dari lima bentuk bunda alam-semesta ini bersifat maha prakriti (Maya, ilusi Ilahi).  Kelima dewi ini adalah Saraswati-Laksmi-Durga-Uma dan Kali, yang membaur menjadi satu bentuk dominan di seluruh alam semesta ini, baik di alam buana-alit maupun buana-agung.  Gayatri lahir dari Sang Pencipta Brahma pada awal penciptaan dunia ini yang tersirat di Veda sebagai  mantra yang bersifat universal, yaitu suatu bentuk Pengagungan dari Yang Maha Kuasa dalam bentuk seorang Bunda alam-semesta itu sendiri dengan kelima bentuk kewajibanNya. Itulah sebabnya walaupun memiliki hanya satu raga, Beliau berkepala kelima dewi di atas tersebut.  Dewi Saraswati adalah lambang dari ilmu pengetahuan, sastra, agama, literatur, keindahan dan seni budaya.  Tanpa Beliau, manusia hidup seperti ibaratnya fauna yang tidak berbudi-pekerti.  Dewi Laksmi adalah lambang dari kejayaan, kekuatan, kemakmuran dan sebagainya. Beliau adalah shaktinya Dewa Vishnu Sang Pemelihara alam semesta ini, sedangkan  Dewi Saraswati adalah shaktinya Dewa Brahma Sang Pencipta.  Durga adalah berkuasa di atas segala bentuk kebatilan,  asuras dan bentuk-bentuk yang bersifat iblis; barang siapa memuja Beliau dipastikan akan dijauhkan dari segala mara-bahaya yang ditimbulkan oleh berbagai asura ini.  Di Indonesia ada konsep yang salah mengenai Durga ini, Beliau dianggap sebagai ratunya para setan-dedemit, padahal Beliau ini menguasai mereka dan tanpa Beliau semua unsur iblis ini akan meraja-lela tidak terkendali.  Di India dan di seluruh dunia Beliau adalah Dewi yang paling dipuja demi mendapatkan imbalan-imbalan duniawi, disamping Laksmi dan Dewa Ganeshya. 
Dewi Uma atau Prathivi, atau Pertiwi adalah juga isteri atau shakti dari Shiva Mahadewa. Beliau adalah ibu Pertiwi ini merupakan Tuhan insan Hindu yang pertama-tama harus dipuja.  Sedangkan Kali, lahir dari Shiva itu sendiri dan akhirnya “membunuh” Shiva dengan kekuatannya. Sebuah simbolisasi dari Sang Waktu (Kala dan Kali), yang maha dominan dan abadi. Dewa-dewi boleh berakhir tugas, tetapi tidak Sang Kala ataupun Sang Kali.  Secara spiritual Gayatri dianggap hadir selama 9 bulan 10 hari di dalam rahim seorang ibu yang sedang mengandung, dan selama itu pula sang jabang bayi belajar akan hakikat Tuhan Yang Maha esa dengan segala fenomenaNya baik di alam  bumi ini maupun di buana-agung dimana Beliau senantiasa maha hadir dimana saja.  Sewaktu seorang jabang bayi lahir, ia menangis pertama kali, dan setiap bayi selalu merneriakkan uah, uah.  Menurut para ahli spiritual Hindu, kata pertama yang keluar dari mulut sang bayi, bangsa apapun ia dan lahir dimanapun, ia adalah : Aum, Aum, Aum, karena tiba-tiba sang jabang bayi kehilangan Gayatri. Oleh karena itu sewaktu dibabtiskan beberapa hari kemudian, versi pertama gayatri ini oleh sang ayah akan dimanterakan di telinga sang jabang bayi, agar ia sadar kembali akan hakikat kehidupannya di dunia ini.  Sayang sekali hampir semua ayah tidak sadar akan makna mantra ini, dan hampir semua pendeta yang melakukan upacara untuk si bayi ini lebih terbius dengan pembayaran yang akan diterimanya.  Lambat-laun hilanglah hakikat sesungguhnya dari mantra yang teramat sakral ini.  Sesungguhnya mantra  yang utama ini diperuntukkan demi majunya jalan spiritual seseorang dan bukan untuk mendapatkan pahala-pahala seperti keselamatan, rezeki dan kekayaan.  Dengan mengulang-ulang mantra ini seseorang akan dibersihkan dari berbagai kekotoran duniawinya, namun itu baru bisa terjadi seandainya pemahaman seseorang akan mantra ini sempurna.  Kalau hanya mengulang-ulang ibarat burung beo, maka yang didapatkannya hanyalah kebodohan belaka.  Pemahaman yang baik akan mantra ini akan mengungkap Sang Jati Diri yang bersemayam di dalam diri kita melalui dhyana yang berkesinambungan dan tanpa pamrih. Dan dhyana ini seharusnya dibukakan oleh seorang guru yang telah berstatus dwijati dan non-pamrih  dalam segala hal.  Pada saat seseorang berguru, inilah mantra Gayatri versi kedua diberikan kepadanya secara spiritual, dan ini disebutkan kelahiran kembali (kedua kalinya).  Versi kedua akan kami utarakan pada keterangan-keterangan berikutnya. Biasanya untuk mendapatkan jalan dhyana ini seseorang  akan diminta untuk menyiapkan dirinya menjadi vegetarian total, dan bersikap total ahimsa dan non-pamrih dalam segala hal, walaupun hidup secara duniawi secara wajar-wajar saja. 
Mantra ini disebut juga dengan nama Savitri Mantra, karena sebenarnya didedikasikan ke seorang dewa yang bernama Savitr. Ada juga sebutan Savitri-gayatri di buku-buku kuno, dan mantra ini ditujukan pada zaman tersebut pada Dewa Surya secara kaidah-kaidah yang terdapat di dalam Veda, dan hal ini juga disebut sebagai Gayatri. Kaidah ini disebut: 
“Om Tat-Savitur-Varenyam
Bhargo Devasya Dhimahi
Dhiyo yo Nah Pracodayat” 
Konon maha mantra ini diturunkan pertama kalinya kepada manusia di bumi ini kepada Resi Visvamitra yang agung di zaman yang teramat silam.  Keseluruhan mantra ini termuat dalam mandala ketiga dari Rig Veda.  Mantra yang sama ini juga hadir Sukla Yajurveda dan Krishna Yajurveda. Di Bhagavat-Gita Sri Krishna bersabda bahwasanya cahaya yang meliputi surya dan chandra adalah CahayaNya semata, jadi menurut para kaum suci, ini berarti Mantra  Gayatri adalah mantra pencerahan akan hakikat Yang Maha Hakiki. 
Om  Bhur  berarti ….Wahai Yang Maha Esa, Dikaulah Sang Bhumi.
Om Bwah berarti ….Wahai Yang Maha Esa, Dikaulah Alam-Semesta.
Om Svah berarti ….Wahai Yang Maha Esa, Dikaulah  Kehampaan yang menyelimuti bumi dan alam semesta ini. 
Sedangkan tiga baris mantra di atas berarti:
            “Kami bersemedi ke arah Cahaya Ketuhanan Sang Surya, semoga cahaya surgawi ini menerangi aliran pikiran yang ada di dalam budhi (intelek) kami.” 
Biasanya di India mantra ini disertai dengan  japa pranava  dan  Vyahrti-S.  Bagi kaum Hindu, pemujaan sehari-hari mengharuskan japa ini (sandhya-karma) agar pikiran selalau berpikir akan hal-hal yang bersifat jernih. Di Manusmrti 102 tertulis : ”Membaca japa ini di pagi hari sambil berdiri akan menghilangkan semua dosa yang disandang selama malam harinya, dan dengan berjapa di malam hari, maka semua dosa dipagi harinya akan sirna seketika”.  Itulah sebabnya kedua waktu ini harus dipergunakan untuk mengingatNya dan sekaligus menyadarkan diri kita sendiri dengan maha mantra ini, bukan hanya dijapakan pada waktu berkunjung ke kuil atau ke pura saja. 
Pada zaman ini Gayatri-Mantra telah sedemikian populernya diseluruh dunia sehingga selalu berkumandang dalam bentuk ratusan versi lagu, japa dan puja-puji dalam berbagai dialog yang aneh-aneh.  Ada sementara  resi mengatakan pranava “Om Bhur-Bvah-Svah” boleh ditambahkan atau tidakpun tidak apa-apa dalam setiap pemujaan, namun rasanya tidak akan berarti kalau tidak disertakan. Ada dua sandhya dalam sehari. Kata Sandhya berarti titik penghubung antara pagi dan malam. Dengan demikian sandhya yang pertama adalah subuh dan yang kedua adalah senja hari.  Pemujaan pada pagi hari sekitar jam 4.30 s/d  jam 5 pagi disebut Brahma-mahurta dan di sore hari sebaiknya pukul 6 s/d 7 sore.  Setelah Islam masuk ke India, banyak orang Hindu menambahkan japa dan sembahyang pada siang hari, padahal itu tidak dianjurkan dan juga tidak dilarang. 
Di masa lalu pemujaan pagi hari sambil berdiri dilakukan menghadap ke arah Timur ke Surya dan pada malam hari ke arah Barat, dan sambil memuja,  seseorang akan meletakkan air di kedua tangannya yang terkatub, dan pada akhir ucapan mantranya air tersebut dipersembahkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, ini disebut Arghya-Pradana.  Pada saat mengakhiri mantra ini, sang pemuja akan mengucapkan :”Surya adalah Sang Brahman (Asavidityo Brahma)”, kemudian ia akan melaksanakan atma-pradaksina, yaitu memutarkan badannya kearah kanan, ini mengisyaratkan bahwa sang pemuja dalam baktinya mengikuti arah Sang Surya dan dharmanya.  Sekaligus berarti ia akan selalu berada dalam naungan dan tuntunan Sang Atman, Sang Jati Diri yang raganya sendiri.  Pada masa tersebut Gayatri-Mantra diucapkan 10 kali pada setiap sandhya, pada saat ini sudah bebas, walaupun konon mantra ini tidak boleh diucapkan lagi setelah senja lewat.  Saat ini aturan inipun sudah terkesan bebas. 
Dengan mengucapkan Gayatri mantra kita sebenarnya memohon agar cahayaNya menerangi dan membebaskan kita  semua dari kebatilan yang selalu mengganggu kita sepanjang hari terus-menerus tanpa henti dalam bentuk godaan-godaan duniawi yang tidak ada habis-habisnya ini. 
Ribuan tahun telah  silam semenjak hadirnya berbagai Veda, kemudian muncullah berbagai Sutras dan kemudian hadirlah berbagai pengertian dan penghayatan akan filosif dan ritual yang disebut agama-agama yang berorientasi ke pemujaan Vishnu, Shiva dan Shakti (Durga).  Setiap agama ini menyatakan bahwasanya Gayatri adalah miliknya, dan puja ini ditujukan kepada masing-masing Ishta-dewatanya.  Kemudian berkembanglah konsep Tuhan sebagai Bunda alam-semesta ribuan tahun lalu, dan hadirlah Dewi Gayatri seperti yang kita kenal sekarang ini.  Banyak yang berpendapat dengan melantunkan Gayatri maka seluruh Veda-Veda telah dilantunkan olehnya.  Kemudian mantra yang dianggap teramat sakti ini dipercayai sebagai mantra pembawa proteksi diri segala rintangan dan halangan, itulah sebabnya Gayatri mantra juga disebut sebagai “Mantra yang melindungi seseorang yang melantunkannya”. 
Kaum Hindu di India percaya bahwa sekiranya timbul kendala atau firasat buruk pada seseorang dikala melakukan suatu usaha atau proyek tertentu, orang tersebut harus duduk berjapa Gayatri-mantra ini sebanyak 11 kali, dan seandainya masih mendapatkan firasat buruk maka dianjurkan mengulangnya sebanyak 16 kali, sesudah itu tidak akan ada aral melintang lagi. 
Di India, seorang anak laki-laki diinisiasi dengan mantra Gayatri sewaktu ia masih berusia muda, dan upacara ini disebut Upanayana yang dihadiri dan diselenggarakan oleh kepala rumah tangga dan pendeta keluarga. Upacara ini di berbagai literatur Vedik disebut gayatri-diksa.  Dengan menjalani upacara ini seorang anak laki-laki diinisiasi menjadi seorang penyandang Hindhu Dharma.  Manu, manusia pertama menganjurkan pendiksaan ini seperti berikut; Usia 5 tahun bagi brahmana, 6 tahun bagi kshtriya, dan 8 tahun bagi seorang vaishya, maksimum usia-usia ini secara masing-masing kategori adalah 16, 22 dan 24 tahun.  Biasanya anak wanita tidak didiksa, karena diksa tersebut akan berlangsung sewaktu ia menikah nanti.  Bagi kaum sudra tidak disebutkan pendiksaan  ini.  tetapi di India masa kini banyak kriteria tersebut di atas  yang telah berubah, kaum sudra sudah boleh mengikuti upacara ini berkat perjuangan Mahatma Gandhi almarhum. 
Dipercayai secara shahtra vedik bahwasanya Gayatri-Diksa adalah kelahiran kedua.  Orang tua melahirkan putra mereka karena menginginkannya secara bersama-sama, dan lahirnya seseorang  dari rahim bundanya dianggap sebagai kelahiran fisik. Namun kelahiran kedua adalah anugerah melalui Savitri yang telah menguasai Veda-veda secara keseluruhan, dan kelahiran kedua ini dianggap kelahiran sejati, abadi dan tak pernah mati dimakan sang waktu.  Sesudah diinisiasi ini seorang putra laki-laki disebut Dvija. 
Sebenarnya mantra ini berisikan kalimat keempat dan kalimat ini dianggap begitu sakralnya sehingga hanya diberikan oleh seorang guru spiritual yang telah betul-betul Dvijati pada saat seseorang memasuki masa sanyasi dan dhyananya. Kalimat keempat ini hadir di Chandogya, Brhadaranyaka dan di Brahma-Sutra.  Kami di Ganeshya Pooja  (Shanti Griya) telah menurunkan Gayatri lengkap ini (disebut juga Maha-Gayatri) kepada sekitar 70 sishya yang menunjukkan tanda-tanda spiritual yang teramat satvik, dari antara ribuan sishya yoga ini. Prosesnya selalu terjadi secara mistis dan otomatis sehingga sang sishya akan menunjukkan gejala-gejala awal  yang sangat menunjang kehadiran Gayatri-Mantra ini di dalam dirinya.  Setelah mendapatkan awal inisiasi,  pemuja ini akan segera menjadi vegetarian  dan ahimsa, lalu mempersiapkan dirinya untuk inisiasi lengkap.  Namun sidang pembaca sebaiknya tidak menghubungi kami untuk yang satu ini, karena mendapatkan Maha-Gayatri adalah proses yang teramat sulit dan sudah banyak yang menjadi gila karenanya. Itulah sebabnya para guru spiritual tidak mau menurunkannya secara sembarangan.  Pada saatnya nanti seorang Hindu atau siapa saja yang telah siap mendapatkannya akan menemukan dimana saja Gayatri (Sang Dharma) berkenan.  Ingat, bukan kita memilih Sang Brahman, tetapi beliaulah yang memilih kita semua. 
Para wanita di masa lampau seperti di masa kini, selalu melantunkan mantra Gayatri secara bebas, dan pada zaman tersebut merekapun melaksanakan upacara Upayana, namun dewasa ini wanita tidak perlu mengikuti upacara ini karena kelahiran kedua seorang wanita adalah sewaktu ia menikah dengan purushanya.  Menurut para resi  seorang wanita lebih efektif dibandingkan dengan seorang pria seandainya ia berjapa Gayatri-Mantra karena efeknya terasa ke seluruh keluarga dan relasi di rumah-tangganya termasuk janin-janin yang dikandungnya. 
Seorang resi guru Chinmaya pernah menulis dan menyebarkan sebuah karya yang disebut Devaprayaga yang dikomentari oleh Sri Shankara Acharya secara pribadi, karya ini sudah tua dan langka, namun dengan bantuan guru tersebut di atas dapat diterjemahkan seperti berikut ini: 
Arti dari wacana Gayatri 

Gayatri sudha pratyag-Brahma-aikya-bodhika 

1.        Mantra Gayatri mengindikasikan ilmu pengetahuan yang terutama akan hakikat penyatuan dengan Sang Atman yang hadir di dalam diri kita dan Yang Maha Hadir di mana saja. 
2.        Yang mengetahui akan segala bentuk budhi (intelek) yaitu Yang Menerangi semua bentuk pikiran dan hadir di semua bentuk intelek, yang merupakan Saksi dari semua bentuk budhi …. Ialah Sang Jati Diri yang disiratkan oleh Mantra Gayatri. 
3.        Maha Brahma, Realitas transedental yang Hakiki adalah merupakan Sang Jati Diri itu semata-mata, dengan mejapakan Gayatri, Beliau akan bangkit (di dalam diri kita).  Sang Atman ini diindikasikan di Mantra Gayatri sebagai Sang Surya (Savitur). 
4.        Kata “tat”  disini mengartikan yang maha hadir, Sang Atman di dalam diri kita, yang bukan tidak dan bukan lain adalah Sang Atman di dalam semuanya, yaitu Yang Maha Atman (Param Brahma). 
5.        Kata surya (Savitur) bermakna Tunggal, yaitu satu substratum bagi semua pengalaman delusi yang berbasiskan pruralitas dan juga berbagai permainan ilusi di medan penciptaan ini, termasuk juga dalam tahap pemeliharaan dan penghancurannya (kiamat, pralaya). 
6.        Kata “Varenyam” (Yang dipuja-puji, Yang dikagumi) berarti Dia (Itu) yang dituju setiap insan (semuanya), Yang bersifat ananda-rupam (rahmat, berkah yang tidak ada batasnya).
 (kata ini pada saat berjapa harus dilantunkan sebagai Varenyam
7.        Kata “Bhargah” berarti yang menghancurkan semua bentuk kebodohan, ketidak-sempurnaan yang dipancarkan oleh kekurang-pengetahuan akan pemahaman Sang Ralitas. Dimana hasil-hasil kebodohan tersebut dihancurkan, maka di situ akan hadir kesadaran akan Realitas Yang Maha Esa secara segera. 
8.        “Devashya” (Cahaya) di sini bermakna kesadaran yang senantiasa hadir, menerangi baik di dalam maupun di luar, di tiga tahap (alam) ….. kesadaran, alam-mimpi dan alam tidur-lelap. 
9.        Yang adalah sifatKu yang murni, yaitu AtmanKu, adalah tidak lain tetapi Berkah yang terutama, substratum untuk semuanya, jauh diluar berbagai penderitaan dan tragedi, bersinar sendiri, bersifat kesadaran yang murni, yaitu Brahman Itu Sendiri. 
10.    Kata “Dhimahi” berarti yang menjadi tujuan meditasi kami, berasal dari konstruksi di Veda. 
11.    Sekarang jelaslah sudah bahwa Mantra-Gayatri ini mengindikasikan kesadaran dan kebangkitan (dalam arti yang dalam) dalam diri kita agar kita faham akan Hakikat Hyang Tunggal yang menghidupi setiap makhluk. 
12.    Di dalam daftar kata-kata vedik, maka kata-kata Bhuh (Bhur), Bhuvah (Bhvah), Svah, Mahah, Janah, Tapah dan  Satyam,  semuanya  berjumlah tujuh disebut “Vyahrti-S”. Dari ke tujuh kata-kata ini, hanya tiga kata pertama dipergunakan untuk pemujaan sehari-harinya. Semuanya pada hakikatnya mengindikasikan Hakikat Brahman Yang Maha Abadi. 
13.    “Bhuh” mengindikasikan keabadian. Yaitu Yang Maha Hadir di setiap periode sang waktu, Yang Maha Suci, Yang Senantiasa Merdeka, Yang bersifat eksistensi murni di dalam setiap bentuk. 
14.    Kata “Bhuvah” menyiratkan makna dari kesadaran yang murni, kata ini berasal dari imajinasi, yang menyiratkan akan kehadiran kesadaran yang menerangi berbagai pikiran kita. 
15.    Kata “Svah” sebagai vyahrti bermakna : realitas terutama dari  seseorang itu sendiri, karena apa yang dituju secara amat sangat oleh setiap ciptaan adalah Sang Jati Diri kita sendiri. 
16.    Kata “Mahah” berasal dari kata megah yang berarti Yang Dipuja, yang secara langsung berarti Yang Maha Megah atau Yang Maha  Dipuja yaitu Sang Jati Diri Yang Maha Utama. 
17.    Vyahrti “Janah” bermakna: Mencipta, yang berarti Yang Maha Pencipta dari mana berasal semua bentuk nama dan rupa, baik yang berada di dalam maupun di luar. 
18.    Kata “Tapah” bermakna: Penuh dengan terang-benderang, kecemerlangan, yang tak terhingga. Sang Jati Diri sebagai bentuk kesadaran adalah satu-satunya yang merupakan sumber semua cahaya di alam-semesta ini. 
19.    Kata “Satyam” bermakna:  Sebuah tahap yang jauh sekali  dari jangkauan berbagai keterbatasan seperti penderitaan dan berbagai penyakit. 
20.    Ketujuh Vyahrti-S diterangkan dan disebut sebagai tujuh loka, yaitu tujuh bentuk kesadaran  atau pengalaman.
(juga berarti 7 cakra utama di raga setiap manusia, ini adalah sendi-sendi buana-alit kita yang berhubungan dengan 7 loka di alam-semesta (buana-agung).  Fenomena ini hanya bisa difahami oleh seorang sishya dibawah bimbingan guru yang telah dwijati secara murni). 
21.    “Etad-uktam bhavati”. Kata-kata ini bermakna: Oleh karena itu semenjak semula kami telah mengindikasikan bahwasanya Gayatri adalah pengejawantahan dari Realitas Yang Maha Utama, yaitu Sang Brahman. 
22.    Sang Jati Diri, Yang adalah eksistensi murni, adalah makna yang disirat dan diindikasikan oleh Mantra-Mantra  Veda OM, yang menunjuk ke Brahman. Ketujuh loka juga menjabarkan  makna dari OM dan yang dimaksud ini adalah Sang Brahman itu sendiri, dan bukan yang lain-lainnya, sebenar-benarnya hanya Beliau satu-satunya yang eksis. 
23.    Demikianlah, ketujuh Vyahrti-S menunjuk, dengan seluruh makna dan isi kandungan mereka, ke arah Sang Brahman, Sang Jati Diri (Atman) dalam kesemuanya. 
OM SHANTI SHANTI SHANTI
OM TAT SAT 

Kamis, 07 Mei 2015

Makna banten di bali


Di pulau Bali  yang mayoritas warganya adalah umat Hindu, yang mana adat,budaya dan ajaran agama sangat erat,saling berkaitan dan saling melengkapi. Sehingga bisa dikatakan adat,budaya dan agama menjadi satu kesatuan.

Khusunya di Bali sendiri dikenal ada yang namanya Banten.  Banten adalah persembahan dan sarana bagi umat Hindu mendekatkan diri dengan Ida Sang Hyang Widhi Wasa atau Tuhan Yang Maha Kuasa.  Banten juga merupakan wujud rasa terima kasih, cinta dan bakti pada beliau karena telah dilimpahi wara nugraha-Nya. Secara mendasar  dalam agama Hindu, banten juga dapat dikatakan sebagai bahasa agama.

Pengertian Banten Pejati

Pejati berasal bahasa Bali, dari kata jati”mendapat awalan pa-“Jati berarti sungguh-sungguh, benar-benar. Awalan pa-membentuk kata sifat jati menjadi kata benda pajati, yang menegaskan makna melaksanakan sebuah pekerjaan yang sungguh-sungguh.

Banten Pejati sering juga disebut “Banten Peras Daksina”.  Banten Pejati adalah sekelompok banten yang dipakai sarana untuk menyatakan rasa kesungguhan hati kehadapan Hyang Widhi dan manifestasiNya, akan melaksanakan suatu upacara dan mohon dipersaksikan, dengan tujuan agar mendapatkan keselamatan. Banten pejati merupakan banten pokok yang senantiasa dipergunakan dalam Panca Yadnya.

Unsur dan Makna Banten Pejati

Pada Banten Pejati terdapat empat unsur utama yang disebut Catur Loka Phala, yaitu terdiri dari; Daksina, Banten Peras, Penyeneng/Tehenan/Pabuat, Tipat/Ketupat Kelanan. Selain itu, di alam banten Pejati juga terdapat; Soda/Ajuman, Pasucian, dan Segehan, beserta sarana-sarana pelengkap lainnya. Makna dari setiap unsur banten pejati, yaitu sebagai berikut:

1. Daksina

Daksina disebut Juga “YadnyaPatni” yang artinya istri atau sakti daipada yadnya. Daksina juga dipergunakan sebagai mana persembahan atau tanda terima kasih, selalu menyertai banten-banten yang agak besar dan sebagainya perwujudan atau pertapakan. Dalam lontar Yadnya Prakertidisebutkan bahwa Daksina melambangkan Hyang Guru / Hyang Tunggal kedua nama tersebut adalah nama lain dari Dewa Siwa.

2. Banten Peras

Kata “Peras” dapat diartikan “sah” atau resmi, seperti kata: “meras anak” mengesahkan anak, “Banten pemerasan”, yang dimaksud adalah sesajen untuk mengesahkan anak/cucu; dan bila suatu kumpulan sesajen tidak dilengkapi dengan peras, akan dikatakan penyelenggaraan upacaranya “tan perasida”, yang dapat diartikan “tidak sah”, oleh karena itu banten peras selalu menyertai sesajen-sesajen yang lain terutama yang mempunyai tujuan-tujuan tertentu. Pada prinsipnya memiliki fungsi sebagai permohonan agar semua kegiatan tersebut sukses (prasidha)

Banten Peras ini boleh dikatakan tidak pernah dipergunakan tersendiri, tetapi menyertai banten-banten yang lain seperti: daksina, suci, tulang-sesayut dan lain-lainnya. Dalam beberapa hal, pada alasnya dilengkapi dengan sedikit beras dan benang putih. Untuk menunjukkan upacara telah selesai, maka seseorang (umumnya pimpinan upacara) akan menarik lekukan pada “kulit-peras”, dan menaburkan beras yang ada dibawahnya. Pada Lontar Yajna-prakerti disebut bahwa peras melambangkan Hyang Tri Guna-Sakti.

3. Penyeneng/Tehenan/Pabuat

Jenis jejaitan yang di dalamnya beruang tiga masing-masing berisi beras, benang, uang, nasi aon (nasi dicampur abu gosok) dan porosan, adalah jejahitan yang berfungsi sebagai alat untuk menuntun, menurunkan Prabhawa Hyang Widhi, agar Beliau berkenan hadir dalam upacara yang diselenggarakan. Panyeneng dibuat dengan tujuan untuk membangun hidup yang seimbang sejak dari baru lahir hingga meninggal.

Yang membentuk Penyeneng:

  1. Ruang 1, berisi Nasi segau yaitu nasi dicampur dengan abu/aon adalah lambang dari dewa Brahma sebagai pencipta alam semesta ini dan merupakan sarana untuk menghilangkan semua kotoran (dasa mala).
  2. Ruang 2 berisi porosan, plawa dan bunga lambang dari dewa Visnu yang memelihara alam semesta ini,
  3. Ruang 3 berisi tepung tawar, bunga, daun kayu sakti (dapdap), yang ditumbuk dengan kunir, beras dan air cendana melambangkan dewa Siva dalam prabhawaNya sebaga Isvara dan Mahadeva yang senantiasa mengarahkan manusia dari yang tidak baik menuju benar, meniadakan (pralina) Adharma dan kembali ke jalan Dharma.

4. Tipat/Ketupat Kelanan

Ketupat Kelanan adalah lambang dari Sad Ripu yang telah dapat dikendalikan atau teruntai oleh rohani sehingga kebajikan senantiasa meliputi kehidupan manusia. Dengan terkendalinya Sad Ripu maka keseimbangan hidup akan meyelimuti manusia.

5. Soda/Ajuman

Ajuman disebut juga soda (sodaan) dipergunakan tersendiri sebagai persembahan ataupun melengkapi daksina, suci dan lain-lain. Bila ditujukan kehadapan para leluhur, salah satu peneknya diisi kunir ataupun dibuat dari nasi kuning, disebut “perangkat atau perayun” yaitu jajan serta buah-buahannya di alasi tersendiri, demikian pula lauk pauknya masing-masing dialasi ceper / ituk-ituk, diatur mengelilingi sebuah penek yang agak besar. Di atasnya diisi sebuah canang pesucian, canang burat wangi atau yang lain.

6. Pasucian

Secara umum pesucian dapat dikatakan sebagai alat-alat yang dipakai untuk menyucikan Ida Bhatara dalam suatu upacara keagamaan. Secara instrinsik mengandung makana filosofis bahwa sebagai manusia harus senantiasa menjaga kebersihan phisik dan kesucian rohani (cipta , rasa dan karsa), karena Hyang Widhi itu maha suci maka hanya dengan kesucian manusia dapat mendekati dan menerima karunia Beliau.

7. Segehan

Segehan artinya “Suguh” (menyuguhkan), dalam hal ini adalah kepada Bhuta Kala, yang tak lain adalah akumulasi dari limbah/kotoran yang dihasilkan oleh pikiran, perkataan dan perbuatan manusia dalam kurun waktu tertentu. Dengan segehan inilah diharapkan dapat menetralisir dan menghilangkan pengaruh negatik dari libah tersebut. Segehan adalah lambang harmonisnya hubungan manusia dengan semua ciptaan Tuhan (palemahan).

Penerima Banten Pejati

Banten Pejati dihaturkan kepada Sang Hyang Catur Loka Phala. Secara lebih detail sebagai berikut:

  1. Peras : kepada Sang Hyang Iswara
  2. Daksina : kepada Sang Hyang Brahma
  3. Ketupak Kelanan : kepada Sang Hyang Wisnu
  4. Soda/Ajuman : kepada Sang Hyang Mahadewa